Jumat, 30 Mei 2014

Aku dan Sangihe (Kenangan ±351 hari bersamanya)



Satu hari tiga pulau aku mengudara. Bandara Supadio Pontianak telah menjadi saksi bisu melepas aku dengan penuh haru demi menuntaskan harapan cita-cita luhur pendidikan “Mencerdaskan Indonesia” menuju Sangihe Manado, Sulawesi Utara. Hari itu Sabtu, 13 Oktober 2012 aku dan teman-teman SM3T LPTK Universitas Tanjungpura Pontianak berangkat dari bandara Supadio Pontianak, Kalimantan Barat menuju bandara Soekarno Hatta, Jakarta dan berakhir di bandara Samratulangi, Manado.
Sangihe, 15 oktober 2012. Disinilah cerita perjalanan pengabdian ku dimulai. Takkan membawa perubahan jika hanya mengutuki kegelapan dan mempermasalahkan sistem pendidikan yang bobrok, lebih baik aku menyalakan lilin kecil di pelosok tanah air dimana aku ditugaskan. Di Utara Indonesia, Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan saksi tunggal yang hanya diam menyaksikan manis pahit pengabdianku sebagai guru muda. Yaa, dibilang muda karena umurku masih 21 tahun dan aku sangat menikmati panggilan baruku sebagai “Enci Asih (Bu guru)”. Selama setahun bumi Sangihe membelengguku dari hiruk pikuk perkotaan dan telah mengajariku banyak rasa. Bumi ini juga yang seolah-olah menjadi petir yang membangunkanku dari mimpi siang bolong yang telah membakar anggapan dalam otakku bahwa Indonesia tidak hanya kota kelahiranku dan Indonesia tidak hanya pulau jawa yang sering ku saksikan beritanya di televise. Syukurnya bumi ini tidak membutakan mata cakrawalaku tuk berselancar di dunia internet. Yaa aku dapat mengakses kehidupan diluar dengan media sosial dan browsing.
Mungkin disinilah aku harus merasakan kesuksesan pencapaian pendidikanku selama ini. Disinilah ku belajar tuk menghargai segalanya, kesempatan, waktu, ilmu, kasih sayang, kebersamaan, dan proses sarjanaku. Bisa saja proses penambahan tiga huruf dibelakang namaku itu tidak akan terasa begitu berharga jika aku tetap jalan ditempat di kotaku. Maka dari itu aku berjalan jauh dari kenyamananku agar aku belajar bersyukur. Di sini ku baru merasakan mahalnya sebuah hasil dari pendidikanku, dan nyatanya memang harus disini aku baru menghargai itu semua. Beda halnya dengan sebagian orang lain di luar sana yang duluan sukses tanpa harus bersusah payah mengabdi seperti yang ku lakukan. Aku berkata demikian bukan berarti kesimpulannya aku bernasib malang. Melainkan karena aku beruntung. Kebanyakan orang menilai kesuksesan itu dari hasil akhir, tapi aku menilainya dari sebuah perjuangan dan prosesnya hingga aku sangat percaya diri mengatakan bahwa aku beruntung karena aku sangat menikmati perjuangan dan prosesnya. Aku tidak ingin membandingkan rejekiku dengan rejeki orang lain, karena prinsipku jalan hidup setiap orang berbeda. Mungkin sudah waktunya mereka, tapi belum waktunya untuk aku. Dan waktuku adalah menikmati segala perjuangan dan proses kehidupanku hingga dititik akhir. Dan dengan bersyukur aku siap menerima rejeki yang lebih hebat dari ini berikutnya. Aku meninggalkan keluargaku, saudaraku, kekasihku, sahabatku, dan teman-temanku yang slalu mendukung dan memberikan kasih sayang dengan kebersamaan mereka. Semuanya terasa sangat mahal dan sangat berarti.
Setiap orang ingin berhasil, tapi tidak setiap orang ingin berubah. Lain halnya dengan ku. Aku ingin berhasil dan aku ingin berubah. Keputusanku untuk mengabdi di daerah terpencil selama setahun adalah keputusanku untuk berubah. Kerelaan dan keberanianku untuk meninggalkan kenyamanan kota demi melunasi janji kemerdekaan yang diikrarkan 67 tahun yang lalu yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan keyakinan tersebut aku pun tidak ragu lagi pada kemungkinan-kemungkinan sukses yang bisa ku buru dalam waktu setahun mengabdi. Aku meyakini bahwa semua orang memiliki kesempatan untuk mencapai impian masing-masing. Dan modal utamaku untuk mencapainya bukanlah uang, melainkan keberanian. Keberanian yang semakin hari semakin ku pupuk secara terus menerus untuk kembali menegaskan bahwa aku tidak ingin ini disebut sebagai sebuah pengorbanan, melainkan proses untuk memantaskan diri akan sebuah kehormatan sebagai penyala harapan bangsa dengan berkontribusi menyalakan lilin-lilin kecil yang  usang di pelosok tanah air.
Di sini ku belajar banyak menghargai apa saja yang ku punya. Karena di sini ku tak punya apa-apa. Ku hanya punya Allah yang selalu menemaniku dan ilmu yang bisa ku bawa kemana saja ku pergi. Dengan kehendak-Nya lah aku bisa sampai di belahan bumi Utara Indonesia ini, Sangihe.  Dengan kehendak-Nya lah aku diberikan kesempatan tuk memperoleh banyak pengalaman berharga yang tidak dimiliki oleh semua orang. Dengan kehendak-Nya pula aku bisa menghargai apa yang aku punya. Dan dengan ilmu-Nya ku belajar sabar, ikhlas, ucap syukur yang tiada batas, dan tak mudah larut dalam kesedihan dan kebahagiaan yang berlebihan. Dan dengan ilmu-Nya ku bisa hadir disini, karna ilmu lah aku selalu merasa kekurangan tuk slalu belajar, dan dengan ilmu aku menyadari bahwa aku manusia lemah, dan dengan ilmu lah ku sadar bahwa aku sangat kecil dihadapan Tuhanku Allah SWT. Dan bersama Allah ku slalu merasa tercukupi, terayomi, terlindungi, tentram, damai, dan terjaga dimanapun aku berada.
Tak setiap orang memiliki kesempatan ini. Sekedar tuk memotivasi diri sendiri, ku dengan bangga mengatakan bahwa aku termasuk orang yang terpilih tuk mengabdi di sini. Orang tuaku sekalipun tak bisa memberiku kesempatan ini. Mereka hanya membekaliku dengan ilmu yang mereka ajarkan dan kasih sayang serta doa restu mereka yang slalu tercurah untukku. Yang bisa memberikan ku kesempatan ini hanyalah Allah dan aku sendiri. Dia yang memberikan ku hidup dan keyakinan untuk berani mengambil kesempatan ini. Karena yang menentukan jalan hidupku adalah aku dan tuhanku. Sebagai manusia ku hanya menjalani kesempatan yang ada di depan mataku, selagi tidak ada kata mustahil kenapa tidak? Selagi Allah memberikan jalan-Nya kenapa tidak? Selagi aku masih bernyawa kenapa tidak? Prinsipku tak ada yang sia-sia selagi kita mengikhlaskan dan menyenangi apa yang kita kerjakan dalam hidup ini maka itulah jalan terbaik yang telah Tuhan anugerahkan. Insyallah semuanya akan berjalan dengan baik-baik saja dan diridhoi Allah, selagi niatnya baik dan mulia dimata siapapun yang menilainya, baik oleh penjahat sekalipun. Pikirku, aku tak perlu takut dengan ancaman sebesar apapun yang datang menghalangi, karna aku mempunyai Tuhan yang Maha Besar yang slalu menemani ku dimanapun ku berpijak, asalkan ku slalu mengingat-Nya dalam segala aktivitas.
Apa yang Anda pikirkan terhadap sesorang yang berani mengambil kesempatan tuk bertugas mengabdi jauh di desa terpencil? Jauh dari orang tua, jauh dari keluarga, jauh dari kekasih, jauh dari sahabat, jauh dari segala macam keramaian orang-orang yang slalu bersaing dari segi materi, intelektual, bahkan sebagian dari mereka yang bersaing dalam hal keburukan? Penjahat sekalipun akan berpikir bahwa ini tugas mulia, dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang berhati mulia. Begitulah caraku memotivasi dalam diri. Dengan tegas menyatakan bahwa Aku adalah seorang guru pengabdi yang berhati mulia, yang digugu dan ditiru maka dari itu aku tak boleh melakukan yang tak pantas dilakukan oleh seorang guru berhati mulia. Apa yang dia inginkan? Yang ku inginkan hanyalah sebuah pengakuan oleh diriku sendiri atas sebuah pencapaian yang tlah ku usahakan, ialah Kehormatan. Ku ingin merasakan apa yang tlah menjadi pilihan terbesar ku, ku ingin belajar mensyukuri apa yang menjadi kesempatanku untuk hidup dan aku hidup untuk berkesempatan berkarya. Ku mempelajari sampai dimana ku bisa mengorbankan diri ku sendiri untuk sebuah masa depan orang lain yang lebih baik.  Yaa, aku disini bertugas mendidik, membangun, menata asa dan harapan mereka tuk lebih cerah yang tak sedikitpun terjamah oleh kemewahan dan kemunafikan globalisasi. Ku disini memberikan gambaran tentang pentingnya cita-cita dan untuk apa tujuan hidup sebenarnya. Tuk membuat masa depan mereka lebih cerah, mewarnai cita-cita mereka, dan mengajarkan mereka tuk slalu berbagi kepada siapapun. “Umat terdahulu selamat karena teguhnya iman dan zuhud. Umat terakhir kelak akan binasa karena kekikiran dan cita-cita kosong” ( Ibnu Abi Ad-Dunia). Untuk itu selagi hidup, gunakanlah untuk bisa berpengaruh positif bagi orang lain, kenapa tidak bisa membangunnya dari usaha-usaha kecil yang suatu saat akan berpengaruh besar yang bermanfaat bagi orang banyak.
 Ya, akhir dari kehidupanku adalah kematian. Kalau tidak ada kematian tentu tidak ada kehidupan. Oleh karena itu, jika kita berani untuk sebuah pertemuan maka kita harus bersiap untuk sebuah perpisahan. Prinsip yang ku pegang selama bertugas ialah ku mempelajari hukum sebab-akibat. Apa yang aku lakukan hari ini adalah untuk hari esok. Aku bukan hidup di masa lalu, melainkan hidup untuk menikmati dan memanfaatkan waktu ku hari ini, dan tetap bersyukur menunggu hari esok. Bertemu atau tidaknya dengan hari esok, aku slalu bersiap tuk menjemputnya. Kalau tidak di dunia, ya di akhirat. Ku menjemput hasil dan kesuksesan hari esok dengan apa yang tlah ku tanam hari ini. Ku berani mengatakan bahwa “Janganlah sekali-kali Anda berharap lebih dari orang lain, jika Anda sendiri tidak ingin memberi lebih. Dan jangan lakukan terhadap orang lain sesuatu yang tidak Anda ingin Allah lakukan terhadapmu. Lakukanlah terhadap orang lain sesuatu yang Anda suka dan senangi jika Allah yang melakukannya terhadapmu”. Hidup itu simple kan J . Pelajarilah hukum sebab-akibat sebagai tolak ukur dan acuan kita dalam bertindak. Kita sebagai manusia adalah makhluk bertuhan. Malulah dengan Tuhanmu dengan segala keburukan yang tlah dilakukan selama hidup. “Jangan sesali ranting yang tlah rapuh dan menguning tapi pupuklah hati, pikiran, dan sikapmu dengan nutrisi positif agar ia mampu bertunas dan menghijau kembali. Jika iya tampak kering, ulangi lagi usaha Anda, hingga ia tumbuh dan berbuah lebat hingga bermanfaat buat orang banyak disekitar Anda”. Itulah yang sedang ku lakukan sekarang. Bertugas nun jauh di Utara Indonesia demi melebatkan pohon amal jariyahku.
Jalanku memilih dan dipilihkan oleh Allah tuk menerima kesempatan ini, bukan semata-mata ingin mencoba sesuatu yang baru. Tetap ku memikirkan sebab-akibatnya sebagai senjataku tuk mengintropeksi diri menuju yang lebih baik. Pikirku, aku ditakdirkan oleh Allah tuk memilih jalan ini adalah sebuah teguran. Teguran oleh Allah atas kesombongan ku slama ini yang tlah menyia-nyiakan waktu hidupku percuma tanpa suatu warna yang berbeda. Sudah saatnya hidupku bermanfaat untuk orang lain. Sudah saatnya ku membagi dan menerapkan ilmu yang kudapati sekarang dengan segala manis pahitnya. Bisa jadi ini cambuk keras yang melecut diriku karena perbuatanku yang menyia-nyiakan apa yang aku punya tanpa suatu yang berarti. Pahit dan getirnya sebuah pengabdian ini mendidiku agar menjadi pribadi yang slalu bersyukur. Sebelum memutuskan menjadi seorang guru pengabdi, aku sangat kurang menghargai waktu, kurang memperhatikan orang lain, hanya sibuk dengan urusanku sendiri, kurang menghargai kebersamaan, kurang mensyukuri dan memanfaatkan apa yang tersedia di depan mata. Hidupku slama ini terlalu santai dan menganggap semuanya itu gampang.
Di tanah ini, semuanya sangat memberiku teguran keras akan kehidupan yang lebih dari cukup yang tlah ku sia-siakan tanpa suatu yang bermanfaat bagi orang lain. Di mana di tempatku aku bisa mendapatkannya hanya dengan menyebutkan apa yang ada dalam pikiranku. Ayah, ibu, saudara, pacar, dan keluarga selalu mendukung dan membantuku mewujudkan apa yang aku mau. Lain halnya disini, aku berusaha sendiri untuk mendapatkannya. Bahkan dengan usaha yang sungguh-sungguh pun aku belum tentu mendapatkannya. Bisa dibilan ini adalah sebuah karma. Makanan yang dulu tidak ku makan, karena ku bilang tidak enak. Disini malah makanan itulah yang setia hadir untuk slalu ku makan agar ku tak lapar. Yaitu ikan, terong, daun ubi, dan pepaya muda. Bahkan olahan sagu buatan ibu ku yaitu ongol-ongol yang hanya satu kali ku makan kala itu, disini aku sering memakan sagu sebagai nasi (papeda) yang bertemankan lauk ikan dan dabu-dabunya. Dengan begitu ku tak henti mengucap syukur Alahamdulillah aku masih bisa mengisi dan mengenyangkan perut. Terkadang hal yang mewah tlah melenakan dan membuat kita lupa bersyukur. Dengan kesederhanaan yang kita miliki, semua nya pun tetap terasa manis dan indah tanpa menghilangkan kesempurnaan nikmat-Nya. Bukan berarti setelah semuanya tidak bisa kita dapatkan baru kita ingat bersyukur. Namun ini adalah akhir dari kesombongan diri yang terlalu angkuh berjalan hingga tanpa sadar mendustakan nikmat Allah. Aku mohon ampun ya allah, atas ketidahtahuanku atas sikapku dan terlena selama hidup, amin.
Pembelajaran hidup yang paling nyata. Tanah ini telah memberikan ku bukti bahwa uang bukanlah segalanya. Aku mempunyai uang, tapi aku tak bisa menghadirkan makanan yang ingin ku makan dalam sekejap. Tak bisa memanggil saudaraku ataupun teman hanya tuk sekedar menemaniku makan di warung makan yang biasa ku lakukan. Di tanah ini pula mengajariku bahwa kerbesamaan itu sangat mahal ketika ku tak bisa mewujudkannya tuk bersama orang-orang yang ku sayangi kapanpun dan di manapun aku mau. Kebiasaanku di rumah hanya di kamar melakukan kesibukan bertemankan dunia maya, mengeluh dengan orang-orang di sekitarku jika tak sesuai keinginanku, malah kadang mencoba menjauh jika ku merasa jengkel dengan mereka. Sekarang yang terjadi sebaliknya. Seakan-akan ku tak berarti tanpa mereka didekatku. Terkadang ku merasa sendiri, hanya kesepian yang menemani dan menghantui. Mengobati kerinduan dengan hanya mendengar suaranya saja, bisa membuatku membayangkan didekat mereka namun tetap saja ku tak bisa melihat wajahnya, senyumnya, marahnya, tawanya, tangisnya, kecewanya ayah ibuku, kekasihku, saudaraku, keluargaku dan teman-temanku tercinta. Maafkan aku selama ini ayah ibu, kasih, saudara, keluarga dan temanku aku tak banyak membahagiakan kalian. Aku tlah mengecewakan kalian termasuk dengan pilihanku bertugas. Aku bukan menjauhi kalian, bukan berarti juga aku tak senang bersama kalian, tapi ku ingin aku menghargai semua yang ku dapat dengan melatih segala kesabaran dan keikhlasan. Selama ini, aku slalu mendapatkan apa yang aku inginkan, tanpa ku belajar suatu hari nanti ku kan kehilangan yang tlah ku dapatkan. Bukan berarti ku sekarang belajar untuk kehilangan kalian, tapi aku belajar untuk sabar dan ikhlas. Begitu juga kalian, yang telah belajar mengikhlaskanku dengan menerima dan menyetujui keputusanku untuk bertugas dengan segala resikonya. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bukan seorang gadis manja lagi dan segala rengekan yang slalu kalian dengar. Tapi ku mencoba tuk menjadi seorang gadis manja yang mandiri dan kuat yang tetap berdiri dengan segala ancaman dihadapanku.
Aku bertugas jauh dari kenyamananku slama ini, bukan berarti aku tak ingin zona nyamanku kembali, bukan juga menyia-nyiakan dan mengurangi waktuku bersama orang-orang yang kusayangi. Tapi aku meminta waktu dalam setahun untuk memperbaiki dan mengoreksi pribadiku dan belajar untuk bisa lebih memanfaatkan setiap detik ku bersama mereka. Betapa mahalnya kebersamaan ku selama 21 tahun ini bersama mereka. Takkan bisa ku bayar dan ku ganti bahkan dengan nyawaku sendiri, itu takkan bisa. Kini ku tlah mempertaruhkan 1 tahun umurku untuk 1 tahun pengabdianku. Berharap setelah pengabdian ini akupun bermetamorposa menjadi dewasa dengan umurku yang ke 22 tahun ketika nanti aku bertemu mereka. Semoga saja aku bermetamorfosa menjadi pribadi yang jauh lebih baik dambaan setiap orang. Maka dengan itu aku takkan lagi menyia-nyiakan nikmat Allah untukku hidup, cinta dan kasih sayang mereka. Di Utara bagian Timur Indonesia ini, aku tetap bisa memeluk mereka dalam doa. Mencintai dan merindukan mereka dalam diam. Aku berproses demi mereka agar bisa mempersiapkan dan membelajarkan diri untuk siap memperoleh nikmat yang luar biasa dan tanpa batas yang bisa ku nikmati bersama mereka orang banyak lainnya suatu hari nanti. Mengisi hari-hari dengan menanamkan ilmu dan kasih sayang, menularkan kepada laskar Sangihe tentang benih-benih ketulusan dan pengorbanan hidup. Aku sangat yakin, bahkan keyakinanku ini lebih kuat dari keyakinanku pertama kali mengambil keputusan bertugas, bahwa Allah akan mempertemukan kita dalam ikatan cinta yang lebih kuat bahkan lebih kuat dari susunan partikel berlian yang takkan pernah tercerai berai. Dipertemukan dalam suasana yang penuh kebahagiaan dan berlimpahkan rahmat Allah yang sangat nyata bisa dirasakan oleh aku, orang tuaku, dan orang lain disekitarku. 


The next : PPG in Yogyakarta : D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar